Dulu kita hanya
dua orang asing yang tak saling mengenal. Tak pernah terpikirkan sedetik pun untuk
berkenalan denganmu. Kamu siapa? Aku pun siapa?kita hanyalah orang asing. Ya! Hanya orang
asing. Tapi, Allah mempunyai kehendak lain. Ia memperkenalkan dan mempertemukan
kita. Untuk sebuah alasan yang kita tak tahu itu apa. Tercipta sebuah ikatan
yang orang sering menyebutnya cinta. Namun, kita terlalu sempurna untuk
menyebut itu sebagai sayang. Sebuah perasaan tulus dan menenangkan. Kita tak
tau apa yang Allah inginkan. kita tak tahu apa yang sudah Ia tulis untuk cerita
kita. Kita hanya berjalan, menikmati waktu yang ada. Menikmati setiap perkataan dan percakapan yang terlontar pada sebuah layar ponsel masing-masing.
Aku sudah tak
pernah merasakannya setelah dua tahun silam. Tapi hari itu, semuanya terasa
seperti pertama kali, jatuh cinta. Tangan yang bergetar, Jantung yang berdegup
tak beraturan, perut yang tergelitik serta keringat yang meluncur dari pelipis
sudah menjadi jawabannya. Mungkin aku hanya gugup untuk bertemu dengan kamu. Namun
kenapa harus gugup? Ini bukan pertemuan pertama kali kita. Dan perasaan ini tak
seperti perasaan pada saat pertama kali aku bertemu dengannya, lebih tenang dan
tak ada rasa gugup. Senyuman yang selalu menyambutku kini terlihat. Aku membalas
senyuman itu, dan kaki kita berjalan sesuai arah yang kita hendaki. Menuntut waktu
untuk tak banyak bicara, memaksa angin tak berhembus terlalu kencang. Menyuruh
semesta menjadi saksi melihat kebahagiaan yang tercipta.
Jemarimu yang
besar memenuhi pipiku, menyeka setiap air mata yang turun tak terarah. Mencoba meredakan
isak tangisku. Kamu menyuruhku mengutarakan isi hati dan perasaanku. Menyuruhku
bercerita, melegakkan hati yang terlalu penuh oleh sesak pertanyaan. Namun bibirku kelu, hanya air mata yang dapat menjelaskannya. Tunggu! Ternyata warna
bola mata kita sama, cokelat tua. Kamu tertawa sangat geli dan puas. Sementara aku
hanya diam, kesal. Aku dapat merasakan hembusan napasmu saat kamu menggenggam
tanganku dan mengarahkannya ke dekat pipi serta hidungmu. Aku benar-benar ingin
menghentikan waktu. Sebuah kata bahkan kalimat terucap dengan terbata-bata,
melalui bibirku. Serta tegas dan pasti, melalui bibirmu. Dan edelweiss yang
sedari tadi diam di dalam kardus pun mendengarkannya, tak ada yang terlewat. Mungkin
ia ikut tersenyum atau bahkan menangis haru.
Aku selalu
mencoba percaya dengan semua yang terucap. Seperti katamu "kita pasti lebih
bahagia seperti ini, seperti sekarang." Dan aku yakin alasan Allah mempersatukan
kita itu indah. Dan ini tentang kisah dimana dua orang asing yang tak lagi menjadi
orang asing. Tentang kisah yang sebelumnya tak pernah terpikirkan tapi
sekarang selalu hadir dalam pikiran. Tentang satu nama yang dulu tak pernah
terucap, sekarang selalu diucap. Akankah kita berakhir dalam satu garis takdir
yang sama? Ataukah kita kembali menjadi orang asing lagi? Ataukah tidak
keduanya? Aku harap kita akan tetap menjadi kita. Tidak ada yang asing maupun
berubah. Kita. Di sini. Selamanya….
Comments
Post a Comment