Pada malam yang dingin ini, kembali lagi rinduku terucap lirih. Pada suratku yang kesekian kali, kembali lagi namamu tertulis. Hai kamu, maaf jika aku tak seberani dulu. Mengucap rindu langsung kepadamu. Maaf, jika sekarang aku hanya berani menulis pada surat ini. Lewat tinta semu, lewat suara dalam pikiran. Maaf jika rindu lagi yang aku tulis, karena rindu ini tak pernah habis. Meskipun waktu sudah mengikis.
Bagaimana ceritamu hari ini? Apakah menyenangkan? Apakah ada aku sedetik saja dalam pikiran? Ah aku tahu itu hanyalah angan. Wahai tuan dalam pikiran, waktu tidaklah bosan memberi kesempatan untukku bercerita. Bercerita tentang segalanya tentangmu. Namun, jikalau ada orang lain yang membacanya, ia pasti sudah bosan. Bagaimana denganmu? Apa kau merasa bosan?
Pada detik ini, kembali tanganku menulis tentangmu. Tak letih, tak membantah. Hujan hari ini mengisyaratkan tentang kita. Tentang kita yang masih kembali meskipun jatuh berulang kali. Wahai kamu lelaki yang tak mau kusebut, seharusnya kau tahu surat-surat ini datang hanya untukmu.
Wahai kamu, seharusnya kau juga tahu bahwa rindu ini memaksa untuk dibalas.
Ps: Karena tiga merupakan angka awal tanggal lahirmu
Comments
Post a Comment