Matanya tidak bersinar lagi. Tangan yang dulunya siap
merengkuh wanita pujaannya terbaring kaku di atas ranjang putih itu. Perempuan
itu selalu setia mendampingi pasangannya yang terbaring lemah. Walaupun taka da
lagi suara yang membuat ia semangat pada pagi hari.
Dulu mata
itu selalu menyiratkan silau senja sore hari, sekarang bercak hitam di matanya
bak menghiasi matanya dengan cara lain. Tangan yang dulu selalu memeluknya
dengan hangat sekarang tak berdaya, hingga ia hanya dapat menunggu sang
perempuan meraih dan merengkuh jemarinya.
Bulir air
mata perempuan itu jatuh, tepat pada saat ia menggenggam jemari sang pujaannya.
Air mata yang mengisyaratkan kerelaan akan janji mereka pada saat itu, cinta terakhir untuk satu yang abadi. Tangan
yang sedang ia genggam bergerak dengan lemahnya. Perlahan sayup-sayup kelopak mata
sang lelaki terbuka. Mulutnya bergerak-gerak seraya ia ingin berkata. Sang perempuan
pun mendekatkan telinganya.
“Aku
akan selalu menjaga janji kita. Cinta terakhir untuk satu yang abadi, kamu.” Ucap
sang lelaki dengan lirih. Dipeluknya lelaki itu dengan erat. Dibisikannya sebuah
kata cinta dengan ketulusan. Namun, itu semua tak dapat menahan takdir Tuhan.
Tubuh
sang lelaki mulai melemah. Napasnya hilang ketika ia mengucapkan kata terakhir,
kamu. Air mata sang perempuan kembali pecah. Ia tersadar bahwa janji sang
lelaki itu bukan hanya ucapan semata. Melainkan bukti yang ia bawa sampai akhir
hayatnya. Ia tidak tahu apakah ia dapat menjaga janjinya, seperti sang lelaki. Apakah aku harus menyusul kamu agar aku
tidak mengikari janji kita?, gumamnya terisak.
Comments
Post a Comment