“Ini buat kamu, disimpan ya. Jangan
pernah dibuang atau yang terlebih parah diberikan kepada orang lain.” Abe
memberikan sebuah kalung liontin berbentuk nada lagu kepadaku. Diletakkannya benda
itu pada telapak tanganku lalu menutupnya dengan hangat.
“Ya Abe, aku janji.” Aku membalas
dengan senyuman, lalu Abe memelukku dengan hangat.
***
Aku benci bau ini. Benci bau khas
rumah sakit yang di hadirkan setiap saat aku memasukinya. Sejak kepergian Abe
beberapa bulan silam, aku mendaftarkan diri menjadi sukarelawan untuk anak-anak
penderita kanker di sebuah rumah sakit swasta. Ya, Abe meninggalkan akibat
kanker yang sudah menggerogoti tubuhnya sejak dua tahun silam. Aku masih ingat
saat terakhir kali aku melihat Abe. Pada saat itu, Abe sedang tertidur pulas di
bangsalnya. Rambutnya yang dulu ditata berantakan dan sering aku usap
menghilang seperti daun yang gugur. Bibirnya yang merona telah menjadi biru
pucat, matanya yang cerah tertutupi oleh lingkaran berwarna hitam. Abe tak
berdaya, tubuhnya sangat lemas. Setiap aku menjenguknya Abe selalu tersenyum
melihat kehadiranku. Dan tidak pernah lupa ia mengatakan “Jaga baik-baik kalung
itu.” Aku hanya mengangguk dan menahan mataku yang terasa panas. Aku tak mau
membuat Abe sedih. Tapi tuhan mempunyai cerita yang lebih indah, ia lebih
menyayangi Abe daripada aku. Dan ia pun mengambil apa yang menjadi miliknya.
Anak-anak ini menjadi pengganti Abe
dalam hidupku. Bersama mereka aku seperti menemukan jiwaku yang dulu, tersenyum
bahagia dan menangis haru karena perjuangan mereka. Di sudut kamar ada
seseorang anak perempuan berumur 6 tahun bernama Klara, ia paling dekat denganku.
Dokter memvonis umurnya tinggal dua bulan lagi. Tapi ia seperti tidak merasakan
ada makhluk jahat yang sedang menggerogoti tubuhnya. Ia terus bermain dan
tertawa sepanjang waktu. Klara seandainya
kamu tahu waktu kamu tidak lama lagi, apa kamu tetap ceria seperti ini?,
batinku lirih.
***
Hari ini jadwal aku mengunjungi
mereka di rumah sakit. Aku sibuk mengurus barang-barang yang akan aku bawa ke
sana, boneka, mainan, buku-buku sudah ku masukan ke dalam kardus. Sesampainya di
rumah sakit, pandanganku terus berkeliling; mencari Klara. Air mataku tak
berhenti mengalir saat seorang perawat mengatakan bahwa Klara mengalami koma. Segera
aku berlari menuju ruang ICU. Di sana aku menemukan seorang anak perempuan yang
terbaring lemah tak berdaya. Ah! Aku teringat
akan Abe. Ku langkahkan kakiku memasuki ruangan itu. Ku tatap wajahnya yang
tak lagi ceria, tangannya yang ku genggam hangat namun tak merespon apapun. Saat
aku mulai terpejam, tangan yang ku genggam memunculkan respons. Kelopak mata
Klara sedikit demi sedikit terbuka. Ia tersenyum kepadaku, mulutnya
berkomat-kamit seraya ingin mengucapkan sesuatu. Aku mendekatkan diri
kepadanya, untuk mendengar perkataannya lebih dekat.
“ Kak sebelum aku meninggalkan bumi,
apa boleh aku meminta kalung yang kakak pakai? Aku sangat menginginkannya sejak
lama.”
Aku kaget. Aku bingung harus
bagaimana. Aku telah berjanji kepada Abe, namun aku juga ingin membuat Klara
bahagia. Dengan hati yang gundah dan air mata yang bergulir. Aku melepaskan
kalung dan memakaikannya kepada Klara. Klara tersenyum bahagia dan terus
menggenggam liontin nada itu. Maafkan aku
Abe, aku telah beringkar, gumamku dalam hati seraya tersenyum kepada Klara.
Comments
Post a Comment